top of page

No Other Choice

  • Writer: Oriana Titisari
    Oriana Titisari
  • Oct 9
  • 3 min read
ree

"The only reason for the existence of a novel is that it does not attempt to represent life," Henry James, The Art of Fiction, 1888.


Ini adalah kalimat yang membuka novel "The Ax" karya Donald E Westlake, 1997, sebuah novel horror thriller Amerika yang menginspirasi film Korea bertajuk "No Other Choice". Uniknya, berlawanan dengan kalimat di atas, menurut saya film ini amat menggambarkan hidup sekarang ini. Karya fiksi yang seolah membaca kegelisahan hati dan menampilkannya dengan sentuhan humor yang membuat kita seolah menertawakan diri sendiri. Satir. Getir. Tapi menghibur.


Film ini ditulis, disutradarai, dan diproduseri oleh Park Chan-wook. Bercerita tentang seorang pria, Man-soo, yang sudah menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya bekerja di industri pembuatan kertas, bahkan meraih penghargaan. Ia melakukan semua hal dengan benar. Hidupnya terlihat sempurna, dengan istri cantik yang pintar berdansa dan bermain tenis, serta dua anak lucu. Namun hidupnya harus berubah 180 derajat ketika ia kehilangan pekerjaannya. Satu dampak dari kemajuan teknologi yang pada akhirnya menggantikan manusia dengan mesin dan AI.


Ketika pertama kali menonton ini, saya terusik. Bukankah pekerjaan saya juga salah satu yang akan segera (atau telah) digantikan oleh AI? Oriana Titisari, sang penulis, yang menjadi editor majalah, yang pindah ke bali untuk menjadi PR, lalu membentuk PR Agencynya sendiri di Bali, kemudian pindah untuk menjadi Corporate Communications sebuah perusahaan investasi... bukankah perannya amat mudah digantikan oleh AI? Bahkan saat hendak menulis blog ini pun, website ini menawarkan, apakah Anda ingin AI menuliskan blog ini? Mulailah saya tertarik dengan karakter di film ini.


Nyatanya, bukan hanya satu pria yang terdampak dengan pemecatan di industri kertas ini. Ada tiga sosok. Sosok kedua bernama Goo Beom-mo, yang langsung jatuh ke jurang nestapa dan menghabiskan hari-harinya untuk minum dan berdiam di rumah, membuat istrinya gila. Satu lagi bernama Go Si-jo yang setelah kehilangan pekerjaan memutuskan untuk menjadi karyawan toko sepatu untuk bertahan hidup. Bagaimana dengan Man-soo, si karakter utama? Ia memutuskan untuk mencari tahu siapa saingan terbesarnya di industri kertas, menemui dan membunuh mereka. Sederhana, sama seperti judul filmnya, No Other Choice. Tidak ada pilihan lain.


Sesungguhnya menonton film ini adalah humbling experience untuk saya. Survival of the fittest. Sejauh mana kita harus berusaha bertahan hidup? Saya bukanlah contoh yang baik. I'm fifty shades of fucked up. Tapi saya lihat orang-orang di sekeliling saya, membaca tautan di Threads bagaimana orang-orang berusaha mencari kerja, melunasi hutang, bertahan hidup, serta mendengarkan bagaimana orang-orang privilidged yang mudah sekali melontarkan kata, "In this economy..."


Saya bisa relate dengan karakter Go Si-jo. Bagaimanakah saya harus rela mengorbankan pengalaman puluhan tahun, menjadi ahli di bidang yang saya tekuni, lalu bekerja di pekerjaan yang tidak membuat saya bahagia demi bertahan hidup? Menurunkan harga diri, mematikan ambisi, dan membunuh mimpi. Apakah ini harga yang harus kita bayar untuk sesuap nasi?


Saya bisa relate dengan karakter Goo Beom-mo, yang hanya bisa berdiam diri, tenggelam dalam depresi, sambil menyesali kehidupan ini. Kenapa? Ketika ia tidak pernah melakukan hal yang salah, teknologi datang dan mengambil alih keahliannya? Ego yang tinggi menjadi dinding yang menghalangi hidup nyata dengan halusinasi bahwa semua baik-baik saja.


Saya tidak bisa relate dengan Man-soo. Membunuh bukan jalan keluar. Strategi, riset dan dedikasi yang ia lakukan untuk bisa menghabisi nyawa saingannya luar biasa. Sampai-sampai saya berpikir, harusnya ia bekerja sebagai penulis saja. Tapi, di akhir film, ia lah yang menjadi pemenang. Ia lah yang berakhir dengan pekerjaan. Ia lah yang bisa mempertahankan keluarganya dan berdamai dengan AI. Ia bukan orang yang jahat. Hanya saja ia memilih untuk mematikan nuraninya, dan bertahan hidup. Harganya hanya hati nurani. Tak seberapa, kan?


Sambil menulis ini, saya pun sedang menjalani hidup ketiga lelaki ini. Saya sedang berusaha memerangi anxiety dengan menulis; sedang apply kerja-kerja "tak seberapa" di Linked.in; dan sedang berpikir keras, siapa yang harus saya habisi malam ini...



 
 
 

Comments


RECENT POSTS

ARCHIVE

BE IN 
TOUCH

Magejibril Productions (findable on GMaps)

Tel +62818907089

© 2025 by Utopiar.

  • White Facebook Icon
bottom of page