I remember when... (a tribute post)
- Oriana Titisari
- Sep 21
- 4 min read
Updated: Sep 21

Baru-baru ini saya menonton film Exit 8. Film Jepang, poster kuning menyala mengingatkan saya akan Kill Bill, based on video game. Premisnya sederhana: ada seorang pria yang berputar-putar di dalam stasiun kereta, hendak mencari jalan keluar. Twist-nya adalah, sang pria harus menajamkan inderanya dan mencari anomali di setiap putaran yang ia ambil, agar bisa maju ke tahap selanjutnya. Yah, namanya juga video game. Tapi, di sela-sela serangan asma, karakter unik yang ditemui di sepanjang jalan, dan refleksi diri yang terjadi, film ini cukup seru.
Awal mula saya menonton film ini, jujur, terdengar membosankan. Apa serunya menonton film tentang orang yang berjalan berputar-putar. Tapi, lama kelamaan saya berpikir, kok ini terdengar familiar... seperti kisah hidup sendiri.
Pernah kah kita merasa seperti stuck in an endless loophole? Setiap hari bangun, makan, kerja, macet, rapat, pusing, target, pulang, tidur. Begitu lagi keesokan hari. Awalnya bekerja dengan purpose, semangat, lalu terjebak di lingkaran rutinitas sampai lupa tujuan awalnya apa. Cuma sekadar ingin bertahan saja.
Lalu, saya membaca salah satu tulisan mentor lama saya. Sesungguhnya ini adalah salah satu tulisan yang saya screenshot, dan akan saya baca kembali ketika sedang perlu mencari "rasa". Tajuknya, I Remember When... Tulisannya sederhana, sehari-hari, tanpa bahasa luar angkasa, tetapi menyentuh. Ia bercerita tentang ritual keluarganya yang kerap kali menuliskan 20 hal yang dimulai dengan kata-kata, I remember when... Di ujung cerita ia menulis, "Remembering where we've been; and the family we've been there with; is the best way to understand who we are, and what really matters as we move forward."
Lalu saya pun mulai menuliskan I remember when versi saya:
I remember when my parents are still alive. Kalau kembali ke tahun 2019, saat saya pertama kembali ke tanah Jakarta setelah tinggal di Bali beberapa tahun lamanya. Masa dimana saya adalah perempuan paling berani di dunia, karena tau, apapun pilihan saya, mereka ada di belakang saya. My safety net. Di sinilah mungkin saya paling bahagia. Di tahun yang sama, saya memberanikan diri pindah "genre" pekerjaan ke industri keuangan. Saya buta soal keuangan, dan cara mengelolanya. Jadi bagaimana saya bisa "menjual"nya? Tapi saat itu saya perempuan paling berani... purpose saya jelas: cari uang sebanyak-banyaknya untuk membiayai tagihan kesehatan dan kehidupan bersama kedua orang tua. Sisanya, modal nekad dan mengandalkan otot kreatif saya saja. Nyatanya, saya jatuh cinta... dengan visi misinya, yang ingin menyejahterakan rakyat Indonesia, dengan orang-orang di dalamnya, dengan pekerjaannya. Purpose-nya bertambah, semangatnya berlipat ganda.
I remember when I lost my parents. Mulai di tahun 2022, Mama berpulang. Lalu diikuti kepergian Papa di tahun 2023. Ini adalah awal mula saya kehilangan purpose saya. Atau lebih tepatnya, merasa tugas saya sudah selesai. Jadi, harus apa lagi? Apa lagi yang harus saya perjuangkan? (spoiler alert!) Ini mengingatkan saya pada karakter The Lost Man di film Exit 8. Awal mula ia terjebak di stasiun jalur keluar no 8 adalah ketika ia menerima berita yang mengubah hidupnya. Life and Death. Bisa dikatakan perjalanan mencari jalan keluar di stasiun menjadi metafora sempurna yang menggambarkan bagaimana perjalanannya mencari jalan keluar dari masalah hidupnya. Langkah demi langkah yang ia ambil dengan penuh perjuangan dan sambil terseok-seok, semua ia hadapi, tanpa petunjuk yang jelas. Ya, seperti hidup saja. Kan kita tidak ada yang diberi instruction manual jelas untuk bisa menjalaninya dengan baik. Sekarang, ini yang sedang saya jalani. Berputar-putar dan mencari anomali apa yang bisa membawa saya selangkah lebih dekat dengan jalan keluar saya.
I remember when I fell in love with writing. Rasanya saya duduk di kelas tiga SD, beru saja mengakui rasa suka pada seorang pria (bukan kepada sang pria tapi kepada teman baik saya, yang plot twist-nya ternyata suka pada pria yang sama). Saat itu saya ingin bercerita banyak, tapi karena teman saya juga suka, ada keraguan. Jadilah saya mulai menulis di buku harian. Banyak yang bilang, sampai sekarang, membaca tulisan saya itu sama seperti membaca buku harian. Nyatanya, memang saat menulis, itulah saat dimana saya bisa merasa paling jujur. Kalau kita tidak jujur saat menulis, untuk apa? Sudah lama saya tidak menulis. Sudah lama saya tidak terinspirasi. Baru-baru ini, inspirasi saya kembali. Mari sama-sama saling menginspirasi kembali.
I remember when I quit my job and decided to rest. Tanpa Papa Mama di sisiku, dan purpose yang tak lagi ada, saya berhenti bekerja. Saya ingat betul, saya ingin beristirahat selama 6 bulan. Sekarang rasanya sudah 18 bulan berselang, dan saya masih disini. Saya membereskan rumah peninggalan orang tua; saya mengorganisir lukisan Papa dan menyelenggarakan pameran in his honor bersama Galeri Nasional dan Kementrian Kebudayaan. Saya merajut kembali pertemanan yang dulu terabaikan karena kesibukan. Saya kembali mengandalkan diri pada keluarga besar yang menyayangi saya. Saya memulai website ini, dan merajinkan diri untuk kembali menulis, cinta pertama saya. Saya membuka hati, broke it, dan kini merasakan cinta kembali. Sekarang, saya ingin belajar memaafkan.
"Remembering where we've been; and the family we've been there with; is the best way to understand who we are, and what really matters as we move forward."
Saya sudah melalui banyak hal. Sudah sering dikecewakan. Dan sudah menjalani jatuh bangunnya dunia beserta seluruh bahagia dan rasa sakitnya. Sekarang, saya siap melangkah ke depan.
I remember when...
Comments